11 Agustus 2024

Foto : Plang PTPN IV

Foto : Plang DPP LMHAI 

Jakarta | marrosnews.com - Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah diatur sistem ketatanegaraan yang disebut konstitusi. UUD NRI tahun 1945, dan berlandaskan paham ideologi Pancasila sebagai dasar kebenaran setiap tindakan seluruh rakyat Indonesia, terlebih instansi pemerintah harus paham betul penerapan ideologi Pancasila dalam melaksanakan tugas tanggung jawabnya. Bila ada perlakuan diluar daripada hukum konstitusi jelas telah melanggar hukum dan patut di tuntut sesuai hukum yang berlaku.

Dalam hal penegakan hukum, Ketua Umum Lembaga Monitoring Hukum dan Anggaran Indonesia (LMHAI) Marlin Jekson Simatupang, mencoba menjelaskan kepada Media, adanya dugaan penyalahgunaan wewenang jabatan oleh oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan salah satu bagian dari BUMN yaitu PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) 4 Bah Butong, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Berkomunikasi melalui chat WA dengan tim redaksi Marros News di Jakarta, 10/08/2024.

Foto : Marlin Jekson Simatupang 

"Mengacu pada peraturan pemerintah nomor 5 tahun 1960, tentang peraturan dasar pokok pokok agraria (UUPA), maka SHGU dapat diperbaharui atau diperpanjang bila pemegang hak tersebut, telah mengelola dan mendayagunakan lahan tersebut dengan baik. Tetapi, sepanjang penelusuran kami (LMHAI), belum ada SHGU dapat diperpanjang bila pemegang hak itu sendiri menelantarkan atau tidak mendayagunakan tanah dengan baik, atau sebagaimana mestinya" ungkap Jekson.

"Oleh karenanya, tanah kosong yang terindikasi terlantar, dapat di dayagunakan atau diusahai oleh masyarakat luas, untuk mensejahterakan hidup masyarakat dalam mengatasi kesenjangan sosial seperti, ekonomi, pendidikan maupun lapangan pekerjaan" tegas Jekson dengan ciri khas kepala plontos.

Foto : Jekson Langsung Investasi Lahan 

Selanjutnya, "SHGU adalah mengusahai, sekali lagi saya tegaskan "MENGUSAHAI", bukan sertifikat hak milik, dan sewaktu waktu akan berakhir masa berlakunya" tegasnya.

"SHGU dapat di perpanjang selama 25 sampai 35 tahun bilamana pemegang hak tersebut mengelola tanah itu dengan baik. Dalam hal ini PTPN 4 dapat memperpanjang SHGU nya dari Juli 2003 sampai November 2038, ini tegas saya sampaikan sekali lagi "MEMPERPANJANG SESUAI SHGU BUKAN MEMPERLUAS LAHAN", itupun SHGU nya dapat diperpanjang jika lahan tersebut dikelola dengan baik. Jadi, jangan coba-coba merebut lahan yang sudah dikelola baik oleh masyarakat dari turun temurun hingga sampai saat ini, dan itu menjadi sumber penghasilan mereka. Saya ingatkan, semua ada aturannya, jangan semena-mena" tegas Jekson.

"Sesuai catatan Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga non kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, bahwa luas perkebunan unit II melingkupi wilayah Bah Butong, Sidamanik dan Tobasari, dengan total luas lahan: 6,373,29 ha, dengan pembagian luas lahan sebagai berikut:
- Bah Butong seluas 2,588,95, ha.
- Sidamanik seluas 2,496,25, ha.
- Tobasari seluas 1,282,58, ha.
Ini saya jelaskan berdasarkan data yang kami temukan, dan inilah dasar investigasi kami ke lapangan yaitu di kabupaten Simalungun" lanjut Jekson.

Foto :  Jekson Dilokasi PTPN IV 

"Akan tetapi, sesuai investigasi kami di areal perkebunan Bah Butong, kami menemukan hamparan lahan kosong yang tidak dikelola dengan baik alias terlantar, sehingga kami menemukan perkebunan sawit -/+ 50 ha, dan menurut keterangan warga setempat, lahan tersebut adalah milik perseorangan, yang berbatasan langsung dengan afdeling VI. Dalam hal ini, kami sudah mencoba untuk konfirmasi langsung kepada pihak PTPN IV, namun pihak management lagi ke Medan, sesuai laporan hansip (penjaga keamanan)" jelas Ketua DPP LMHAI Marlin Jekson Simatupang.

"Sebelumnya juga kami sudah bersurat dari Jakarta, tetapi sampai saat ini pihak PTPN IV tidak merespon samasekali, terkait lahan kosong yang di Kalangsari atau Jatisari yang terindikasi terlantar, dan sudah di garap oleh masyarakat Desa Simpang Tiga Nagori Bahalgaja, Kec Sidamanik, Kab Simalungun dari tahun 1962. Maka, pihak PTPN IV sudah melakukan voting dengan pemasangan tapal batas oleh BPN, yaitu, antara Perkebunan Nusantara dengan lahan Jatisari milik garapan warga Desa Simpang Tiga Nagori Bahalgaja" lanjut Jekson.

"Dan kita memahami tapal batas itu adalah garis pembatas atau pemisah dari dua sisi yang berbeda, dan mempunyai wewenang yang sama untuk mengelola lahan masing masing. Dan sesuai temuan data kami, masyarakat setempat sudah diberi izin untuk menggarap lahan tersebut melalui pengadilan landreform, yaitu kebijakan politik agraria pada masa presiden Soekarno. Tujuannya untuk mengubah struktur agraria yang populis, tidak peodalis atau kapitalistik.

Kemudian landreform bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Surat izin menggarap tanah bekas perkebunan Belanda, yang dikeluarkan oleh panitia landreform daerah TK II Simalungun pada tanggal 1 September tahun 1966, a/n "PERSATUAN PETANI MANIK REJO" dan ranting petani kampung Bahalgaja, Tobasari dan Sidamanik. Tanah yang terlantar hampir ribuan ha, dan sering di klaim beberapa pihak dengan mencoba mengintimidasi petani agar membayar Rp 2000 per rante (satu rante seluas 400 m)" tambah Jekson.

Foto : Logo LMHAI 

"Juga oknum oknum yang tidak bertanggung jawab yang menerima bayaran Rp, 2000/r, dimana kadang petani lagi bekerja, tiba-tiba dipanggil dan dibawa ke kantor polisi, 4 hari kemudian di suruh pulang, dengan syarat bisa menggarap tapi bayar Rp, 2000/r. Para kelompok tani tetap berpegang teguh kepada surat izin yg di keluarkan oleh pengadilan landreform yang sekarang disebut Agraria. Hal inilah yang sering memicu terjadinya berperkara antara individu bahkan dengan perusahaan perorangan, yang berujung sampai ke pengadilan tingkat tinggi maupun mahkamah agung" lanjutnya.

"Sesuai putusan PN Pematang Siantar tanggal 16 Juni 1977, Nomor/78/perd/1976/PN.PMS, yang amar putusannya sebagai berikut: #Surat Izin Menggarap Tanah Bekas Perkebunan Belanda# yang dikeluarkan oleh panitia landreform daerah TK II Simalungun, tanggal 1 September 1966, a/n penggarap; Persatuan Kelompok Petani Manik Rejo, atau randkolonisasi adalah sah dan masih berlaku sampai sekarang. Keputusan Pengadilan Tinggi Medan, no 354/Perd,/1972/PT.MDN.DAN KEPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG.NO.602, K/Sip/ 1972.

Bahwa, persengketaan tanah sejak tahun 1964, telah mendapatkan keputusan yang mempunyai kekuatan tetap, kami tegaskan lagi, bahwa masyarakat Desa Manik Rejo, Laut Tawar, Kalangsari, Bahalgaja, Tobasari, Manik Siantar, Siborong borong, Manik Mantondang Tigabolon, Bah Kapuran, telah diberi izin menggarap setiap tanah kosong, yang disebut landkolonisasi atau bekas perkebunan belanda, sehingga pengadilan landreform Agraria mengeluarkan surat izin menggarap. Peserta Pengadilan Landreform terdiri dari Hakim, Panitra dan Kelompok Petani kala itu" terang Jekson.

"Memang undang undang telah banyak mengalami perubahan, tetapi kita jangan lupa dengan catatan sejarah. Kami sangat berharap, para pejabat maupun aparat pemerintah, tetap mengedepankan rasa kemanusiaan sebagai bukti kemerdekaan bangsa Indonesia. Mendengarkan keluhan masyarakat terlebih petani, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan bertani adalah ujung tombak terdepan sebagai kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Saya memohon, jadilah pejabat yang hidupnya mengamalkan Pancasila sebagai ideologi negara, dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa" pinta Jekson.

"Taat mengamalkan Pancasila, dan taat terhadap undang undang dasar 1945, memiliki integritas yang tinggi serta peduli kepada masyarakat, menyelesaikan hukum secara persuasif, humanis, tentu dengan norma norma hukum yang sepatutnya" tutup Ketua Umum DPP LMHAI Marlin Jekson Simatupang.

TTD, 
LEMBAGA MONITORING HUKUM DAN ANGGARAN INDONESIA. (LMHAI / MCN)

Editor : Maruap Sianturi 
your advertise here

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Postingan Populer